Semilir
hangat hembusan angin musim semi membelai ujung jilbab ku siang hari ini.
Kelopak bunga warna-warni yang telah bermekaran menghiasi taman area kampusku.
Tempat dimana aku asyik bercengkerama dengan alam bawah sadarku. Membuatku
teringat akan kisahku sebelum ku menginjakan negeri seribu benteng ini.
Aku
adalah satu-satunya putri seorang wiraswasta yang mempunyai penghasilan yang
bisa dibilang menengah kebawah. Yah,yang seperti kita ketahui bahwa seorang
wiraswasta tidak lah menentu penghasilan nya. Ibu ku hanya seorang ibu rumah
tangga yang tak mempunyai pekerjaan lain. Kita memang keluarga yang
berkurangan, tapi kami tidak butuh belas kasihan dari siapa pun. Aku bangga
dengan ayahku. Walau beliau berpenghasilan yang tidak seberapa, tapi mimpi beliau
adalah ingin melihat anak-anak nya sukses suatu saat nanti, tidak ingin seperti
diri nya. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Kedua adik ku kembar. Mereka
hanya selisih satu tahun lebih muda dariku. Demi cita-citaku dan kedua adik
kembarku, ayah pun sampai hati menjual sertifikat rumah yang keluarga kecilku
tempati dari dulu hingga sekarang ini, kepada adik ayah yang mempunyai harta
berlebih. Jangan kan heran, terkadang,biaya sekolahku dan kedua adik kembarku,
keluarga ayah lah yang menyokongnya. Dan statusnya hingga hari ini aku dapat menghembuskan
nafas pun, kami sudah tidak mempunyai rumah.
Akupun
mengikuti saran kedua orangtuaku. Beberapa minggu setelah tes, pengumuman
kelulusan pun keluar. Namaku tercantum menjadi salah seorang yang lolos ujian
dari 3000 peserta lain nya. Tetapi, beberapa hari yang lalu, ku dengar dari
salah satu teman semasa SMA ku memberitahu tentang pengumuman beasiswa luar
negeri di salah satu website kementerian agama. Aku tahu, aku hanya lah seorang
yang mempunyai kapasitas otak yang sedang-sedang saja. Dan aku tau, bahwa
sangat lah mustahil bagiku untuk bisa mengenyam pendidikan di luar negeri. Aku
pun teringat kata-kata ibuku setahun silam. Ibuku langsung memvonis bahwasanya
aku tidak akan pernah bisa keluar negeri. Selain itu pula, mungkin karena
akulah putri satu-satu nya di keluarga kami. Hal itu yang membuat ku maju
mundur untuk mengirimkan berkas-berkas yang tertera di webside itu. Tapi,
dorongan semangat dari temanku lah yang membuatku berani untuk mencoba seleksi
itu.
Bismillah,
akhirnya pun aku mengirimkan berkas-berkas yang tertera di halaman webside kementrian agama tanpa memberitahu kedua orang
tua ku. Karena asyik dengan aktivitas ku sebagai mahasiswa baru, dari
sosialisasi pembelajaran hingga orspek, aku pun lupa akan penyeleksian berkasku
di jakarta sana.
Karena
aku belum menemukan kos-kosan yang tepat, dengan terpaksa aku pun pulang-pergi
antara kampus dan rumah dengan sepeda motor ayah ku yang tak kenal lelah itu.
Pada suatu hari selepas aku mengikuti pembekalan di kampus baru ku, ayah
memanggilku. Aku pun bertanya-tanya dalam benakku. Ada apa gerangan ayah tak
seperti biasanya. Di ruang tv sudah ada ayah dan ibu ku duduk dalam satu sofa.
Ayahku bukan lah orang yang bisa berbasa-basi. Masih ingat betul dalam benakku
ayah menanyakan “nak, kamu kirim apa ke kementrian agama?” dan saat itu lah aku
mencoba untuk mengelak pertanyaan ayah. Lalu ayah pun berkata “tadi ada petugas
depag yang menelepon ke nomor ayah, bahwasanya kamu mengirim berkas untuk
mengikuti tes seleksi kuliah ke maroko. Bener gag?” aku pun di
skakmate dengan pertanyaan ayahku. Aku
hanya bisa diam dan menunduk di hadapan orang tuaku. Lalu ayah berkata kembali
“dan berkasmu lolos beserta 30 orang lain nya. 2 hari lagi akan di adakan tes
wawancara di jakarta.”. perasaanku sangat lah campur aduk antara
ketidakpercayaan, terharu, senang, takut yang jelas nano-nano bercampur
aduk tak karuan.
Dalam
menit-menit itu pun ayah dari temen ku yang memberiku suport untuk mengikuti
seleksi itu pun menelepon ke nomor hp ayah. Ternyata temanku pun juga lulus
seleksi 30 besar ini. Tanpa berpikir panjang, ayah menyuruh ku untuk
bersiap-siap pergi ke Jakarta. Ayah menyuruh ibu untuk meminjam uang kepada
tetangga yang akan di gunakan untuk bekalku pergi dan hidup di ibukota negara
kita itu.
Selepas
maghrib, aku di antar ayah dan ibuku ke stasiun kota. Dengan bekal seadanya pun
aku berangkat dengan temanku. Tepat pukul 4 pagi, kita berdua pun sampai di
stasiun jatinegara. Karena budhe ku berdomilisi di daerah keramat jati. Ayah
hanya memberi ku secarik kertas yang bertuliskan alamat budhe. Jadi,
selanjutnya, aku lah yang mencari alamat tersebut. Setelah mengikuti petunjuk
yang di berikan ayah melalui pesan di hp, alamat budhe pun akhirnya ku temukan.
Sehari
setelah ujian, pengumuman telah terpampang di beranda webside kementrian agama.
Tapi apa daya aku masih berada di bus yang membawaku 14 jam bersama temanku. Karena
hanya memiliki uang yang cukup untuk membeli tiket bus kelas biasa. Sesampainya
di rumah, ingin segera aku pergi ke warnet untuk melihat pengumuman kelulusan. Akhirnya
tanpa ba bi bu lagi, langsung ku ayunkan langkahku menuju warnet terdekat. Perasaan
tak menentu bercampur rasa letih yang menjalar di tubuh gempalku, luruh sudah
ketika nama ku terpampang pada urutan yang ke 10. Aku lolos ujian luar negeri! Rasa
ketidakpercayaan masih menjalar dalam benakku. Langsung ku pulang dan memberi
tau kedua orang tuku. Tak henti-hentinya air mataku menetes di pelukan ibuku.
3
bulan setelah pengumuman, akhirnya aku memulai kisah hidupku di negeri seribu
benteng ini. Aku pun berangkat dengan bekal uang seadanya yang dimintakan iuran
dari keluarga ayah. Hingga sekarang aku telah memasuki bulan ke-7 di kota kecil
kenitra. Semoga allah memudahkan langkahku dalam mempelajari ilmu-ilmu-Nya.
2 komentar:
Aamiin, , ,
Ayo lebih smngad d morocco, blum tntu dpet ksmptan bljar d luar ngeri lge, gnakan sbaek mngkn, bljar lillahi ta'ala, mnntut ilmuNYA, insya Allah akn dbri kmliaan driNYA
Cemumud, , , , , :D :D :D
iyya mas,,^^
makasih saranya,,,,
Posting Komentar